like this

like this

Kamis, 09 September 2010

Jaran Jinggo Lamongan (butuh pelestarian)



Bisa dibilang, satu diantara seni budaya Lamongan yang terancam punah. Kini, dalam rangka Lamongan Art 2008, budaya warisan leluhur ini digairahkan kembali. Bagaimana kebolehan seni yang mengandalkan binatang yang namanya kuda ini ?


Ribuan pasang mata warga kota Lamongan tertuju pada kuda, yang tengah beratraksi di depan pendopo Lokatantra Lamongan, kemarin. Ya, jarang jinggo, demikian orang menyebutnya seni budaya yang biasanya dihadirkan untuk hajat khitanan ini. Disebut jaran (kuda) jinggo, bisa jadi karena seni budaya perpaduan Islami-Jawa asal Kecamatan Solokuro ini, mengandalkan kelebihan binatang, kuda.
Penonton dibikin tertegung akan kebolehan binatang piaraan ini. Maklum, bukan hanya dandanannya saja yang serba gemerlap - bak pakaian sang raja - yang menyita banyak mata. Lebih dari itu, prilakunya yang menyerupai manusia, membuat banyak kepala bergeleng-geleng karena kagum.
Bagaimana tidak, dua ekor binatang ini bisa berjoget mengikuti irama terbang dan jidor (semacam beduk), jenis alat musik Islami. Masing-masing bocah belia yang didandani bak raja, larut dalam gerakan, ketika kedua binatang ini manggut-manggut mengikuti irama jidor.
Semua mata terbelalak, ketika binatang ini menyampaaikan salam hormat pada bupati Masfuk beserta muspida yang tengah menyaksikan atraksi seni budaya ini, dengan cara bersujut. Lebih mengherankan lagi, ketika digelarkan tikar dan lengkap dengan bantal, binatang jantan bersujud dan mulutnya mencium bantal. Sejurus kemudian, binatang ini tertidur pulas, di atas tikar. Saat bersamaan seorang pria anggota group seniman ini juga membujur kaku.
Oleh peserta lain, pria ini disandingkan diantara keempat kaki kuda yang tertidur. Jadilah kuda tidur bersama manusia. ‘’Hanya kuda Lamongan yang bisa begini,’’ demikian suara yang keluar dari pengeras suara mengomentari sang kuda.
Konon, selain berkat pawang hewan yang handal, gerakan kuda, termasuk seniman lainya ini dibawa pengaruh mejik. Indikasinya, begitu sang pawang mencoba membangunkannya dengan sebilah keris yang digenggam ditangannya, sontak kedua mahluk yang membujur kaku ini terbangun.
Jaran Jinggo, salah satu peserta yang ditampilkan pada acara parade seni dan budaya dalam rangka Lamongan Art 2008. Kini, dalam rangka Lamongan Art 2008 ini, seni dan budaya yang terancam punah ini dibangkitkan kembali. ‘’Harapan kami dengan Lamongan Art 2008 ini, Pemkab senantiasa memberikan dukungan, agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengembangkan kesenian di Lamongan,’’ kata Ketua DKL, Sonhaji Zainudin.

Selasa, 07 September 2010

Gambyong


Konon Tari Gambyong tercipta berdasarkan nama seorang penari jalanan (tledhek) yang bernama si Gambyong yang hidup pada zaman Sinuhun Paku Buwono IV di Surakarta (1788-1820). Sosok penari ini dikenal sebagai seorang yang cantik jelita dan memiliki tarian yang cukup indah. Tak heran, dia terkenal di seantero Surakarta dan terciptalah nama Tari Gambyong. Tarian ini merupakan sejenis tarian pergaulan di masyarakat. Ciri khas pertunjukan Tari Gambyong, sebelum dimulai selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang. Sebab, kendang itu biasa disebut otot tarian dan pemandu gendhing.
Pada zaman Surakarta, instrumen pengiring tarian jalanan dilengkapi dengan bonang dan gong. Gamelan yang dipakai biasanya meliputi gender, penerus gender, kendang, kenong, kempul, dan gong. Semua instrumen itu dibawa ke mana-mana dengan cara dipikul.
Umum dikenal di kalangan penabuh instrumen Tari Gambyong, memainkan kendang bukanlah sesuatu yang mudah. Pengendang harus mampu jumbuh dengan keluwesan tarian serta mampu berpadu dengan irama gendhing. Maka tak heran, sering terjadi seorang penari Gambyong tidak bisa dipisahkan dengan pengendang yang selalu mengiringinya. Begitu juga sebaliknya, seorang pengendang yang telah tahu lagak-lagu si penari Gambyong akan mudah melakukan harmonisasi.

Rabu, 01 September 2010

Gandrung Saking Banyuwangi

Asal istilah

Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat

Pertunjukan Gandrung Banyuwangi

Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian ini masih satu Genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub Jawa Tengah danJawa Timur bagian barat,Lengger  di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan) di Gandrung
merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

Sejarah

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Perkembangan terakhir

Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti dangdut dan campursari.
Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Osing yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Osing.
Di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka atau citra negatif di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok sosial tertentu, terutama kaum santri menilai bahwa penari Gandrung adalah perempuan yang berprofesi amat negatif dan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, tersudut, terpinggirkan dan bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari
Sejak Desember 200, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat

from : Wikipedia

tari boran

Tari BORAN (Sego Boran) adalah penggambaran suasana kehidupan para penjual Nasi Boran di Kabupaten Lamongan dalam menjajakan dagangannya dan berinteraksi dengan pembeli. Kesabaran, gairah, dan semangat serta ketangguhan adalah smangat mereka dalam menghadapi ketatnya persaingan dan beratnya tantangan hidup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Iwak kutuk, sambel, sili, plethuk, peyek, gimbal, empuk adalah ciri khasku, Nasi Boran khas Lamongan.
Penata Tari : Ninin Desinta Y, S.Sn
Penata Iringan : Sarono, S.Sn